
Presiden Prabowo Subianto berbicara pada peresmian program koperasi desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah pada 21 Juli 2025. (Foto: Sekretariat Presiden Indonesia)
Para pakar mengatakan rencana ambisius Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Kopdes Merah Putih dapat membebani anggaran negara dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Mulai dari pinjaman bagi petani yang tidak punya akses ke
sistem perbankan hingga menyalurkan barang bersubsidi dan makanan ke masyarakat
miskin bisa dilakukan oleh program yang baru saja diluncurkan, itulah yang
disampaikan oleh para pejabat di Indonesia.
Dinamakan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, program ini
tidak hanya akan membagikan minyak goreng atau pupuk bersubsidi, tetapi juga
menawarkan berbagai pelayanan lainnya.
Para pengamat mengatakan, meski tujuannya baik, namun
koperasi yang akan memakan anggaran hingga Rp400 triliun ini bisa mengancam
perekonomian negara jika tidak dikelola dengan baik.
Menurut mereka, Kopdes Merah Putih bisa bernasib sama
seperti Koperasi Unit Desa (KUD) di era Presiden Soeharto yang diwarnai salah
kelola dan korupsi.
Kopdes Merah Putih sembilan kali lipat jumlahnya dari KUD.
Karena skalanya yang besar dan cara program ini dibiayai, para pakar mengatakan
Kopdes Merah Putih bisa membuat warga desa terjebak dalam siklus utang,
sementara bank-bank milik negara berisiko mengalami masalah likuiditas.
“Banyak koperasi yang tidak dikelola secara profesional dan
akhirnya bangkrut karena salah urus, utang yang menumpuk, dan korupsi,” kata
Achmad Nur Hidayat, dosen ekonomi dan kebijakan publik dari Universitas
Pembangunan Nasional Jakarta, kepada CNA.
Berbicara pada upacara peluncuran Kopdes Merah Putih di Jawa
Tengah pada 21 Juli lalu, Prabowo mengatakan lebih dari 80.000 koperasi ini
akan beroperasi di seluruh Indonesia dalam tiga bulan ke depan. Saat ini, kata
dia, sudah ada 108 koperasi yang sudah beroperasi.
“Setiap desa akan memiliki gudang untuk menyimpan hasil
panen masyarakat. Kami juga akan memiliki toko kebutuhan pokok, serta layanan
simpan pinjam,” kata Prabowo.
Setiap koperasi juga akan mengoperasikan klinik kecil dan
apotek serta menyediakan solusi transportasi bagi para petani yang ingin
membawa hasil panennya ke pasar terdekat, tambahnya.
DARI MANA DANA KOPDES MERAH PUTIH?
Prabowo juga mengatakan koperasi-koperasi ini akan
menyediakan layanan penggilingan padi agar para petani tidak perlu lagi menjual
gabah mereka dengan harga murah kepada penggiling swasta.
Menurut Prabowo, banyak kasus di mana pupuk bersubsidi
justru berakhir di tangan para tengkulak yang menjualnya kembali dengan harga
sangat tinggi. Para petani juga kerap terpaksa meminjam uang dari rentenir
karena ada anggota keluarga yang sakit.
“Hal-hal inilah yang harus kita atasi dan kita atasi dengan
langkah besar,” katanya, menjelaskan mengapa koperasi-koperasi diluncurkan
dalam skala besar dan dalam waktu kurang dari lima bulan sejak gagasan ini
muncul awal Maret.
Presiden Prabowo Subianto tiba di acara peresmian program Kopdes Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah pada 21 Juli 2025. (Foto: Sekretariat Presiden Indonesia)
“Kita adalah bangsa besar, jadi kita harus berpikir besar dan punya keberanian untuk mengambil tindakan besar.”
Presiden Prabowo Subianto berbicara pada peresmian program
koperasi desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah pada 21 Juli 2025. (Foto:
Sekretariat Presiden Indonesia)
Program Kopdes Merah Putih hanyalah salah satu dari
serangkaian program ambisius yang dipelopori Prabowo sejak ia menjabat pada
Oktober lalu.
Pada Januari lalu, Prabowo meluncurkan program andalannya,
Makan Bergizi Gratis (MBG), yang bertujuan memberi satu kali makan sehari bagi
83 juta anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Prabowo juga berencana
membangun tiga juta rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah dan mendirikan
100 pesantren untuk warga miskin setiap tahunnya.
Pada 1 Juli, Kementerian Keuangan memperkirakan seluruh
program ini akan menyebabkan defisit anggaran pemerintah sekitar Rp662 triliun,
atau 2,7 persen dari PDB Indonesia pada akhir 2025.
Untuk menghindari defisit yang lebih besar, pemerintah
memutuskan mengalihkan anggaran dari program dana desa untuk membiayai sebagian
dari program Kopdes Merah Putih. Dana desa adalah inisiatif yang bertujuan
mendukung proyek infrastruktur skala kecil dan pemberdayaan ekonomi yang
diluncurkan oleh pendahulu Prabowo, Joko Widodo, pada 2015.
Prabowo menyatakan bahwa program dana desa "tidak
membawa perubahan yang dibutuhkan" dan bahwa dana dari program warisan
tersebut sebaiknya dialihkan ke inisiatif koperasi desa miliknya.
Namun Menteri Koordinator Bidang Pangan dan ketua satuan
tugas pemerintah untuk Kopdes Merah Putih Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa dana
desa hanya akan mencakup sebagian modal awal yang dibutuhkan untuk mendirikan
satu koperasi.
Setiap koperasi kemudian harus mengajukan pinjaman hingga
Rp3 miliar dari bank-bank milik negara untuk mengembangkan berbagai unit usaha
yang diharapkan dapat dijalankan koperasi tersebut.
Bank akan menyeleksi permohonan pinjaman guna mengurangi
risiko gagal bayar.
"(Koperasi) harus menjelaskan bagaimana mereka akan
menggunakan uang itu, kapan diperkirakan akan mulai untung, dan sebagainya.
Jadi kami (memberi pinjaman) dengan cara yang benar, bukan cara yang
mudah," katanya saat peluncuran program.
Namun, para ahli memperingatkan bahwa angka gagal bayar dari
koperasi-koperasi baru ini kemungkinan tinggi.
“Ini skema pembiayaan yang tidak masuk akal,” kata Media
Askar, peneliti dari lembaga kajian Center for Economic and Law Studies
(CELIOS) di Jakarta, kepada CNA.
Menurutnya, bank-bank milik negara tidak memiliki cukup dana
untuk meminjamkan ke seluruh 80.000 koperasi.
Sebagai contoh, Bank Mandiri, bank pemerintah terbesar di
Indonesia, mengelola aset senilai Rp2.400 triliun untuk 30,7 juta nasabah,
sementara yang terkecil, Bank Syariah Indonesia, mengelola Rp400 triliun untuk
19 juta nasabah.
“Aset-aset bank akan habis hanya untuk meminjamkan miliaran
rupiah ke ribuan koperasi,” kata Media.
“Dan koperasi-koperasi ini adalah entitas baru tanpa
pengalaman, tanpa riwayat kredit, dan tanpa bukti bahwa usaha mereka akan
menguntungkan. Jadi risikonya sangat tinggi bahwa mereka tidak akan mampu
membayar kembali pinjaman tersebut.”
Jika sejumlah besar koperasi gagal bayar secara bersamaan,
menurut Media, “ini bisa mengguncang stabilitas seluruh sektor perbankan.”
Achmad dari Universitas Pembangunan Nasional Jakarta
sependapat.
“Tidak semua koperasi ini akan menguntungkan, apalagi dalam
waktu singkat. Sementara (desa-desa) tetap harus mencicil pembayaran
pinjamannya. Jika mereka tidak mampu bayar, ini akan menjadi bencana bagi desa
dan juga bank,” katanya.
Bagi desa, tambah Achmad, mereka bisa saja kehilangan aset
strategis jika gagal membayar pinjaman. Sementara bagi bank, mereka mungkin
menghadapi masalah likuiditas akibat pinjaman bermasalah.
INVESTASI BERISIKO TINGGI
Para analis juga meragukan apakah koperasi-koperasi ini akan
dikelola dengan baik, mengingat waktu yang relatif singkat dari gagasan hingga
peluncuran. Kopdes Merah Putih pertama kali diusulkan Prabowo dalam rapat
kabinet pada Maret lalu.
“Saya ragu pemerintah bisa menemukan orang-orang kompeten
untuk mengelola koperasi-koperasi ini dalam waktu sependek itu,” kata Achmad,
seraya menambahkan bahwa waktu yang terbatas juga tidak memungkinkan pemerintah
menyusun model bisnis yang layak.
“Menyusun model bisnis yang benar-benar berfungsi bukanlah
hal mudah. Model tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik desa, potensi
ekonomi, dan masyarakatnya. Bahkan dengan itu, dibutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk membangun fondasi kokoh agar sebuah koperasi bisa menguntungkan dan
berkelanjutan.”
Para ahli menyebut bahwa kurangnya model bisnis yang layak
dan sifat program yang top-down mengingatkan pada program KUD era Orde Baru
yang juga dirancang sebagai entitas usaha multifungsi di pedesaan.
Ketika diluncurkan pada 1973, Soeharto juga membuat janji
yang mirip dengan Prabowo, bahwa program ini akan memangkas peran tengkulak,
memberantas praktik pinjaman rentenir, dan memastikan barang-barang bersubsidi
tidak jatuh ke tangan yang salah.
“Tapi karena salah urus, utang menumpuk, pinjaman tak
terbayar, dan korupsi merajalela,” kata Acuviarta Kartabi, ekonom dari
Universitas Pasundan, kepada CNA.
Dukungan pemerintah terhadap sekitar 9.000 KUD yang
didirikan selama rezim Soeharto berakhir ketika ia lengser pada 1998. Sejak
saat itu, sebagian besar KUD bangkrut atau ditinggalkan anggotanya, tersisa
hanya 385 koperasi yang masih aktif saat ini.
“Begitulah risiko mendirikan koperasi yang lahir dari
kebijakan top-down. Mereka menjadi tergantung pada insentif dan dukungan
pemerintah karena tidak lahir dari kebutuhan dan inisiatif masyarakat,” kata
Acuviarta.
Prabowo telah menjanjikan bahwa Kopdes Merah Putih akan
diawasi secara ketat guna mencegah penyelewengan dan korupsi.
“Teknologi akan memungkinkan (koperasi) diawasi secara
ketat. Semua uang yang masuk dan keluar (akan diawasi) melalui teknologi.
(Korupsi di koperasi) akan menjadi masa lalu,” ujarnya.
Prabowo juga mengatakan bahwa programnya “akan menjadi
tulang punggung ekonomi lokal” dan masyarakat akan melakukan apa pun yang
mereka bisa untuk menjaga agar koperasi di daerah mereka tetap bertahan, dengan
atau tanpa dukungan dari pemerintah pusat.
PERLU ORANG-ORANG YANG KOMPETEN
Meski ada risiko, para ahli dan pelaku industri percaya
bahwa sebagian koperasi ini bisa berhasil dan berpotensi meningkatkan
perekonomian lokal.
“Ada peternak yang kesulitan mendapatkan pinjaman bank
karena mereka tidak punya rekening atau bukan badan hukum. Layanan simpan
pinjam dari koperasi ini bisa menjadi solusi bagi anggota kami,” kata Muhlis
Wahyudi, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia, kepada CNA.
Muhlis juga berharap Kopdes Merah Putih bisa membeli daging
ayam dan telur dari peternak dengan harga yang adil dan stabil.
“Karena harga sering berfluktuasi, kadang kami harus beli
pakan saat harganya tinggi dan jual ayam ketika harganya rendah. Banyak anggota
kami yang bangkrut karena masalah ini,” ujarnya.
Para ahli mengatakan agar koperasi ini berhasil, pemerintah
harus merekrut orang-orang yang memahami persoalan lokal di tiap desa dan bisa
mengubah masalah tersebut menjadi peluang ekonomi.
“Setiap desa punya tantangan dan peluang yang berbeda. Satu
desa mungkin lebih membutuhkan unit logistik koperasi karena letaknya
terpencil, dan tidak terlalu butuh fasilitas penyimpanan karena produk yang
dijual tidak cepat rusak,” kata Media dari CELIOS.
“Beberapa desa bahkan mungkin tidak perlu koperasi baru
karena mereka sudah punya koperasi hasil inisiatif sendiri yang berjalan dengan
baik.”
Ekonom Achmad sependapat.
“Membangun program koperasi butuh lebih dari sekadar
anggaran besar dan niat baik pemerintah. Program ini harus didasarkan pada
kebutuhan masyarakat, dikelola secara profesional, dan diawasi dengan mekanisme
internal maupun eksternal,” katanya.
Acuviarta dari Universitas Pasundan mengatakan seharusnya
Prabowo memulai program ini dalam skala kecil terlebih dulu untuk membuktikan
apakah konsepnya benar-benar berhasil.
“Melatih pengurus koperasi, memantau kinerja mereka,
menentukan sistem dan model bisnis mana yang berhasil dan mana yang tidak,
serta melakukan penyesuaian dan perbaikan, semua itu butuh waktu,” kaata
Acuviarta.
“Tidak perlu terburu-buru.”